KISAH PETUALANGAN SURADI
Semua kisah yang ada dalam cerita ini sepenuhnya fiktif. Kesamaan nama, tempat dan kejadian bukan tidak disengaja. Tetapi anda harus yakin bahwa itu hanyalah rekaan penulis semata.
Kamar yang dikontraknya terletak di tengah-tengah perkampungan yang sangat padat penduduk. Setiap hari ke proyek, dia pergi dan pulang berjalan kaki. Selama hampir dua minggu, setelah tersesat dan nyasar beberapa kali, akhirnya dia menemukan jalan terpendek dari kamar kontrakannya menuju lokasi proyek.
Dia tidak lagi melewati gang-gang lebar yang bisa di lalui motor, tapi dia melalui gang-gang kecil yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Jika dia berjalan melalui gang-gang yang lebar, waktu tempuhnya sekitar 20 menit berjalan kaki cepat. Tapi jika dia menempuh gang-gang kecil itu, dengan berjalan santai dapat ditempuh dengan waktu 10 menit.
Setiap pagi dan sore, dia dengan puluhan pejalan kaki lainnya melewati gang kecil itu hingga tiba di ujung gang yang besar. Dari gang besar itu lokasi proyeknya sudah terlihat, dia tinggal menyebrangi jalan kabupaten, sampailah dia di lokasi proyek.
Baru saja seminggu menjadi pelanggan gang-gang kecil itu, banyak kenalan yang dia dapat. Dari buruh pabrik sampai tukang es cendol. Suradi merasa gembira .
Hari itu Suradi bangun kesiangan. Semalam dia pulang larut karena kiriman barang telat dan dia juga harus menyelesaikan administrasinya. Dia berangkat dari rumah kontrakannya jam 10.
Saat melangkah di sepanjang gang kecil itu, dia merasa agak aneh karena suasananya yang lengang. Tak ada buruh pabrik yang berjalan tergesa, tukang es cendol yang santai mau pergi ke pasar, emak-emak yang berjalan sambil bergunjing… tidak ada. Sepanjang gang itu sepi.
Ketika Suradi melewati gang yang paling kecil, di teras sebuah rumah dia melihat ada seorang cewek sedang duduk sambil bermain HP. Dia duduk dengan ke dua kakinya naik ke atas kursi dan agak mengangkang. Kedua tangan cewek itu ada di atas pahanya. Kesepuluh jari jemarinya sedang asyik menari-nari di atas screen HP sambil senyam-senyum. Sebetulnya, dia mengenakan rok yang panjang, tapi entah bagaimana lapisan rok bagian atasnya hanya menutup 3 cm di bawah lututnya. Itu berarti 95% betisnya tak tertutup.
Suradi adalah lelaki normal. Usianya baru 38 tahun. Sejenak dia menghentikan langkah, melirik dengan ujung matanya, menikmati betis dan paha putih bersih yang mulus serta celana dalam berwarna kuning pias tanpa motif.
Di tengah-tengah pucuk celana dalam itu ada sebuah belahan sepanjang 3 atau 4 cm yang terlipat dan terselip. Dia melihat dengan jelas lipatan belahan itu basah, soalnya jarak dia dengan cewek itu paling jauh juga 2 meter.
Tiba-tiba Suradi melihat satu tangan cewek itu bergerak ke arah belahan celana dalamnya dan jarinya menggosok-gosoknya. Cewek itu mendadak sadar ternyata ada orang yang berjalan di gang depan rumahnya.
“Maaf. Permisi.” Kata Suradi.
Mata cewek itu melotot. Tapi Suradi merasa aneh, walau pun cewek itu melotot tapi kelihatannya tidak benar-benar marah.
“Om, ngintip ya.” Tuduhnya.
“Enggak.” Kata Suradi gugup. “Saya cuma tak sengaja ngelihat…”
“Wew!” Kata cewek itu sambil menjebikan bibirnya dan masuk ke dalam rumahnya.
Dua hari setelah kejadian itu, Suradi pulang agak malam, sekitar jam 9. Dia melewati rute yang sama dan ketika menemukan gang yang paling kecil itu, dari arah sebaliknya, dia melihat cewek itu sedang berciuman dengan seorang cowok yang kemungkinan besar adalah pacarnya.
Suradi merandek. Dia melihat cowok itu selain menciumi mulut cewek itu dia juga mengoles-oleh belahan celana dalam si cewek dengan asyiknya.
“Udah ah.” Kata si cewek.
“Ah terus ah.” Kata si cowok.
“kalau terus digituin, neneng ga kuat aa.”
“Ga kuat pengen ya.”
Si cewek yang bernama Neneng itu menjebikan mulutnya.
“Sok tahu ah.” Katanya.
“Ke belakang yuk?” Ajak si Cowok.
“Mau ngapain?”
“Nih pegang kontol aa udah ngaceng, memek neneng juga udah basah… yuk ke belakang.”
Si Neneng tidak menjawab. Tapi Suradi melihat mereka berjalan dengan hati-hati ke gang di sebelah rumahnya yang sempit dan gelap.
Keesokan harinya, Suradi berangkat agak siang. Ketika melewati gang kecil itu, dia melihat Neneng sedang duduk sambil bermain HP.
“Permisi.” Katanya. Tapi Neneng tidak menjawab. Setelah melangkah beberapa meter, tiba-tiba cewek itu memanggilnya.
“Eh, Om, sebentar.” Katanya. Suradi menghentikan langkahnya.
“Ada apa, ya?”
“Om, punya internet ga? tetringin sebentar aja. Kuota Neneng habis.” Katanya.
“Kebetulan, kuota Om juga habis. Ini mau cari pulsa ke depan.”
“Jangan ke depan Om jauh, di belakang juga ada yang jualan pulsa.” Kata Neneng, “Lewat sini Om, tapi Neneng juga dibeliin ya Om, yang 10 ribu aja.”
“Boleh. Kemana jalannya?”
Neneng kemudian menuntun Suradi menyusuri gang yang sangat sempit itu, ke luar dari gang sempit itu mereka memasuki halaman belakang sebuah rumah yang tak terawat. Dari situ ada gang sempit lain yang menuju gang besar yang bisa di lalui motor. Di gang besar itulah ada penjual pulsa.
Dia membeli pulsa untuk dirinya sendiri dan untuk Neneng, dia membelikan pulsa 20 ribu. Neneng melonjak gembira.
Mereka kembali melalui rute semula setelah pulsa berhasil masuk, ketika berada di halaman belakang rumah yang tak terawat itu, Suradi tak sengaja menginjak kerikil sehingga dia hampir terjatuh, tangannya gelagapan mencari pegangan. Tak sengaja dia meraih tangan Neneng dan berhasil menyeimbangkan diri.
“Maaf.”
“Ga pa pa, Om.”
“Terimakasih neneng yang cantik.”
Dipuji begitu, wajah Neneng yang putih menjadi kemerahan.
“Neneng yang harusnya makasih udah dibeliin pulsa.”
“Sama-sama deh kalo begitu.” Kata Suradi.
“Om mau pergi kerja ya?”
“I ya. Ini udah kesiangan.”
“Kerja di mana Om?”
“Di proyek di depan.”
“Om, udah punya istri belum?”
“Udah. Memang kenapa?”
“Mmm… enggak… Om kemarin ngintip neneng waktu main HP ya?”
“Enggak, kebetulan lewat aja.”
“Tapi ngeliatin celana dalam neneng kan?”
“I ya. Emang kenapa? Kan Om punya mata.”
“I ya tapi waktu itu mata Om kayak orang melotot?”
“Ah, masa?”
“Kirain Om marah.”
“Masa Om marah sih? Gemes malahan … eh.” Suradi kaget dengan apa yang dikatakannya secara spontan.
“Gemes? Maksudnya apa itu Om?”
“Enggak… maksudnya… maksudnya… ”
Melihat Suradi gugup, Neneng malah tertawa cekikikan.
“Udah deh Om ga pa pa. Neneng cuma becanda.”
Selama satu minggu, Suradi pergi ke beberapa kota untuk menemukan bahan baku terbaik dan termurah untuk pelaksanaan proyek tersebut. Meskipun deal sudah dilakukan sebelumnya melalui HP, namun Suradi punya kebiasaan untuk melakukan pengecekan secara langsung.
Setelah kembali ke kamar kontrakannya, Suradi melakukan aktivitasnya seperti biasa. Pergi pulang jalan kaki.
Sore itu, ketika dia pulang melewati gang kecil itu, Neneng ada di teras dengan mengenakan pakaian seragam putih abu.
“Kamu tuh kerjaannya minta pulsa melulu.” Suara seorang perempuan terdengar nyaring.
“Mamah… 10 ribu aja.”
“Ga ada!” Terdengar pintu dibanting. Neneng terduduk diam di teras ketika Suradi lewat persis di depannya. Suradi tersenyum.
“Eh, Om ke mana aja?”
“Ada. Cuma engga lewat sini.” Suradi berbohong.
“Om, minta pulsa dong.”
“Boleh. Berapa?”
“10 ribu aja.”
“Itu tadi ibumu ya?”
“I ya itu mamah.”
“Pulsanya transferin aja Om.”
“Om ga bisa nransfernya. Sama neneng aja nih.” Kata Suradi sambil memberikan HPnya.
“Eh, Om masuk dulu. Mau neneng bikinin kopi?”
“Jangan, ga usah.” Suradi masuk ke teras dan duduk di samping Neneng.
“Om pulsanya banyak banget. Boleh ya minta 20 ribu?”
“Jangankan 20 ribu, semuanya juga boleh.”
“Beneran?”
“Bener.”
“Serius?”
“Serius.”
“Ya, udah, kalau gitu 50 ribu aja ya? Ga pa pa kan Om?”
“Ga pa pa.” Kata Suradi, agak meringis.
“Om, kenapa meringis?”
“Ini, neng, Om dari tadi nahan pipis.”
“Ke kamar mandi aja, apa susahnya.”
“Wah, jangan, nanti ibumu gimana?”
“Mamah udah pergi kerja, barusan lewat jalan belakang.”
“Bapak?”
“Belum pulang, nanti jam 10 malem.”
Suradi memasuki rumah yang sederhana itu dan menemukan kamar mandinya yang terletak di belakang. Selesai kencing, dia keluar kamar mandi dan melihat Neneng masuk ke dalam rumah.
“Udah belum?”
“Udah, Om.” Kata Neneng. “Om waktu Om dulu bilang gemes itu maksudnya pengen nyolek ya? Jawab yang jujur ya Om.”
“Itu… maksudnya… bukan… tapi Om pengen…”
“Pengen apa?”
“Mmmm….”
“Om mau lihat lagi ga?”
Suradi terdiam.
Neneng tiba-tiba duduk di kursi sofa dan menyingkapkan roknya, dia lalu membuka lebar ke dua pahanya. Terlihat celana dalamnya yang putih.
“Lihat Om sini, yang deket.”
Suradi mendekat dan membungkuk.
“Gemes ga Om?”
Suradi mengangguk.
“Sekarang kalo udah gemes, pengen apa?”
“Pengen… pengen… ngejilatin. Boleh ga?”
“Engga boleh. Harus di kamar.” Kata Neneng terkikik.
Neneng pergi ke kamar diikuti Suradi. Dia melepaskan rok dan celana dalamnya sekaligus. Dia lalu berbaring di ranjang dan membentangkan ke dua pahanya.
Suradi tahu Neneng sudah tidak perawan. Tapi benda mungil di hadapannya memang lucu dan menggemaskan. Kedua jari jemari Suradi membekap buah pantat Neneng yang kenyal. Sambil berlutut, dia mendekatkan wajahnya ke arah benda mungil yang indah itu. Dengan kedua jempolnya, Suradi mencoba membeliakkan bibir-bibir itu agar terbuka lebih lebar.
Lubang yang sempit, klitoris yang genit mengintip, bibir-bibir labia minora yang kemerahan… Selalu membuat Suradi terpesona. Dia menatap semuanya itu dengan penuh kekaguman.
“Ini adalah memek remaja yang indah.” Katanya dalam hati.
Pelahan dia menjilatinya secara sistematis. Dari bawah dekat lubang pantat, menyisir ke pinggiran paha, terus naik ke pubis yang dijembuti bulu-bulu halus. Setelah itu dia menyisir bibir-bibir bagian luar sekelilingnya, lalu bagian dalam… clitoris yang sedang mengintip malu-malu itu dilahapnya dengan lembut, digoyang-goyangkan dengan lidahnya… lalu dia menjulurkan lidahnya, menyusupkannya ke dalam liang memek yang masih sempit itu.
Suradi tentu saja mendengar Neneng mengerang-erang seperti orang kesurupan. Tapi Suradi tidak peduli. Dia terus melakukan itu sampai Neneng merintih-rintih meminta kontolnya dimasukan.
“Om… kontol..Om.”
Kontol Suradi tentu saja sudah menegang dari tadi. Dia melepaskan pantalon hitam beserta celana dalamnya sekaligus. Dia memasukan kontolnya pelahan agar dapat menikmati denyar-denyar liang memek Neneng yang hangat.
Pelahan Suradi membenamkan seluruh batang kontolnya sampai habis. Menahannya sebentar. Kemudian menggenjot naik turun pelahan, lalu cepat, pelahan lagi… tahan dulu. Dia ingin merasakan denyutan-denyutan itu.
Dia menggenjotnya pelahan, lalu agak cepat, lalu cepat… Suradi bisa merasakan letupan itu. Ketika Neneng mengerang setengah menjerit dan tubuhnya gemeteran seperti orang terkena penyakit ayan.
Sebelum Suradi akhirnya meledakan spermanya di dalam memek Neneng, dia melakukan genjotan terakhir dengan kecepatan tinggi.
Ugh!!!!
Crot… crot… serrrr… serrr… serrrr
Selama 9 bulan mengerjakan proyek itu, entah berapa kali Suradi mengentot Neneng. Dia lupa. Tapi minimal 1 minggu 1 kali, kadang 2 atau 3 kali. Suradi merasa bersyukur Neneng tidak hamil karena dia selalu ngecrot di dalam.
Suradi tak pernah pelit jika Neneng meminta uang. Apalagi yang dimintanya tidak banyak, paling 500 ribu. Tapi dia pernah minta 1 juta, Suradi memberinya sambil tersenyum.
Beberapa bulan setelah proyek itu selesai dan kembali ke Cimahi, Suradi pernah merasa sangat kangen kepada Neneng. Dia pernah 1 kali datang ke rumah itu tapi ternyata Neneng sudah menikah dan pindah ke tempat lain.
Tapi Suradi tidak kecewa. Biasa saja. Petualangan lain akan selalu ada menunggunya.***